Mencermati hal itu, kebijakan demi kebijakan pemerintah pun terbit untuk menjadi dasar dari suatu solusi di lapangan.
Tercatat pada 2010 - 2012, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) digencarkan program bahan bakar nabati (BBN) dengan menyasar sejumlah tanaman sebagai sumber energi yang dapat menggantikan energi fosil.
Baca Juga:
PLN Siap Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2040 Lewat Kolaborasi Swasta
Tanaman itu, mulai dari tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.) hingga nyamplung (Calopyllum inophyllum), yang dinilai potensial menjadi energi biodiesel dikembangkan di sejumlah daerah, mulai dari wilayah Barat Indonesia hingga wilayah Timur Indonesia.
Salah satu proyek untuk mendukung energi hijau itu berlokasi di Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Pabrik pengolahan pun dibangun senilai miliaran Rupiah pada 2010, namun kondisi di lapangan tidak mendukung terjadinya kesinambungan produksi, sehingga pabrik pengolah minyak nyamplung itupun kini menjadi barang rongsokan.
Padahal, menurut peneliti senior dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Teknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup, Budi Leksono, potensi minyak nyamplung sebagai BBN mencapai 20 ton per tahun dan itu sudah diteliti di tujuh pulau di Indonesia sebagai sampel.
Baca Juga:
PLN Siap Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2040 Lewat Kolaborasi Swasta
Potensi itu dibenarkan oleh peneliti muda asal Balai Besar Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar C Andriyani Prasetyawati.
Dia mengatakan, kurang lebih dua tahun berada di Pulau Selayar meneliti tanaman nyamplung dan hasilnya pulau tersebut memiliki potensi besar mengembangkan BBN, hanya saja kurang dikembangkan masyarakat akibat berbagai kendala, salah satunya kendala pemasaran.
Kini, pergeseran waktu sekitar 20 tahun silam telah membawa pada penemuan baru untuk menggunakan bahan bakar yang ramah lingkungan, seperti tenaga surya, tenaga bayu, tenaga air, gas, panas bumi dan sebagainya.