WahanaNews-Sulbar | Akibat langkanya bahan bakar minya (BBM) jenis solar, pemandangan kendaraan besar seperti truk yang mengantre di SPBU marak di beberapa wilayah Sulawesi.
Diduga, fenomena itu terjadi ditengarai karena terbatasnya stok BBM jenis solar di berbagai SPBU.
Baca Juga:
Gelar Naker Expo, Kemnaker Sediakan Puluhan Ribu Lowongan Pekerjaan di Tiga Kota
Direktur Utama PT Pertamina, Nicke Widyawati menyampaikan, beberapa faktor ditemukan yang menyebabkan terjadinya kelangkaan.
Salah satu diantaranya adalah kuota solar subsidi tahun ini yang lebih rendah ketimbang tahun lalu.
Nicke Widyawati mengatakan, mengacu pada kondisi perekonomian tahu ini yang mulai berangsur pulih, maka konsumsi solar bersubsidi diprediksi akan mengalami kenaikan hingga mencapai 16 juta kiloliter.
Baca Juga:
Sudinkes Jakarta Barat Ingatkan Rumah Sakit Terus Terapkan Pelayanan Berbasis Hospitality
Konsumsi 16 juta kiloliter itu rupanya melebihi kuota yang telah ditetapkan yaitu sebesar 14,09 juta kiloliter.
Hingga per bulan Februari 2022 penyaluran BBM jenis solar subsidi telah mencapai kuota sebesar 10 persen, yaitu 2,49 juta kiloliter dari yang seharusnya 2,27 juta kiloliter.
"Kami memahami bahwa sekarang industri tumbuh, maka kita tetap suplai, walaupun sekarang sudah over kuota, per bulan kan ada kuota. Tapi sudah over 10 persen sampai dengan Februari," ucap Nicke Widyawati dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR RI.
Peningkatan konsumsi BBM jenis solar akhir-akhir sayangnya tak diimbangi dengan peningkatan dari segi suplai.
Pasalnya, kuota subsidi BBM jenis solar untuk tahun ini mengalami penurunan sebesar lima persen jika dibandingkan dengan tahun 2021.
Adapun kuota subsidi BBM jenis solar yang ditetapkan oleh pemerintah pada tahun ini sebesar 15,1 juta kiloliter sedangkan tahun lalu kuotanya sekitar 15,8 juta kiloliter.
Nicke Widyawati menyampaikan, gap kuota itulah yang kemudian menjadi pemicu masalah di suplai.
Ia berharap jika pemerintah bisa kembali melakukan penyesuaian terkait dengan kuota solar subsidi.
"Kami memohon dukungan, jika memang solar subsidi ini adalah bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi, maka kuotanya perlu disesuaikan dengan kebutuhan," jelasnya.
Tidak hanya itu, kelangkaan solar subsidi juga disebabkan oleh adanya penyelewengan penggunaan solar bersubdi oleh industri besar, seperti perusahaan tambang dan sawit.
Berdasarkan hitungan yang dilakukan Pertamina, disparitas harga antara solar subsidi dan non-subsidi atau Dex Series semakin tinggi yaitu mencapai Rp 7.800 per liter.
Nicke mengungkapkan, dugaan itu semakin dikuatkan dengan meningkatnya penjualan solar hingga mencakup 93 persen.
Sedangkan, penjualan solar non-subsidi atau Dex Series menurun menjadi hanya tujuh persen.
"Ini yang harus kita lihat, apakah betul ini untuk industri logistik dan industri yang tidak termasuk industri besar? Antrean-antrean yang kita lihat ini, kelihatannya justru dari industri-industri besar seperti sawit, tambang. Ini yang harus ditertibkan," ungkapnya.
Mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014, terdapat ketentuan terkait transportasi yang bisa dan tidak bisa menggunakan solar subsidi.
Dalam peraturan tersebut mobil pengangkut hasil tambang dan perkebunan dengan roda lebih dari 6 tidak bisa menggunakan solar subsidi.
"Jadi itu sebanyak 93 persen, termasuk (industri tambang dan sawit), harusnya tidak meng-cover tambang dan sawit. Ini yang kami duga," bebernya.
Dirinya menyebut, jika fenomena ini membutuhkan petunjuk teknis dari pemerintah agar mengantisipasi potensi penyelewengan solar subsidi.
Guna memastikan penyaluran solar subsidi bisa tepat sasaran sehingga tidak mengalami kelangkaan.
"Solar subdisi memang ada aturannya di Perpres (Peraturan Presiden), tapi mungkin perlu ada level Kepmen (Keputusan Menteri) yang mengatur petunjuk teknis untuk bisa digunakan di level lapangan," pungkasnya.[jef]